CERPEN "Hujan"
Hujan dan Sunyi
Langit sore itu berwarna kelabu, seolah sedang menutup mata dari kesibukan dunia. Tak lama kemudian, hujan turun dengan deras, mengetuk atap rumah tua tempat Esha tinggal. Gadis itu duduk di tepi jendela, menatap butir-butir air yang berlarian di kaca.
Hujan selalu menjadi sahabat bagi Esha. Di balik dinginnya, ada kehangatan yang tak bisa ia temukan di keramaian. Bagi orang lain, hujan mungkin hanya gangguan yang membuat jalanan macet atau pakaian basah. Tapi bagi Esha, hujan adalah ruang untuk bicara dengan dirinya sendiri bicara tentang sepi, tentang mimpi yang tertunda, dan tentang hati yang kadang terasa kosong.
Ia ingat masa kecilnya, ketika hujan adalah alasan terbaik untuk bermain di luar. Berlari tanpa alas kaki, menengadah ke langit sambil tertawa, dan pulang dengan tubuh basah kuyup. Namun, kini, di usia dewasa, hujan justru mengingatkannya pada hal-hal yang hilang: keceriaan yang sederhana, suara ayah yang dulu selalu melarangnya kehujanan, dan kehangatan ibu yang menyelimuti dengan handuk tebal. Semua itu kini tinggal kenangan.
Esha menutup matanya. Derasnya hujan membuatnya merasa seperti berada di tempat lain tempat di mana tidak ada beban, tidak ada penantian, hanya ada dirinya dan suara rintik yang terus jatuh. Perlahan, ia tersenyum. “Mungkin kesepian ini tidak seburuk itu,” gumamnya. “Selama ada hujan, aku tidak benar-benar sendiri.”
Di luar, langit masih menangis deras. Namun di dalam hati Esha, ada sedikit cahaya yang tumbuh. Hujan memang selalu membawa sesuatu: entah kesedihan, entah kerinduan, atau justru keberanian untuk bertahan. Dan bagi Esha, setiap tetesnya adalah pengingat bahwa hidup akan terus berjalan meski dalam sunyi.
Komentar
Posting Komentar